Di Indonesia, Hari Raya Idul Fitri dijadikan momen untuk berkumpul kembali bersama keluarga, apalagi keluarga yang terpisah jauh karena suatu alasan, misalnya pekerjaan atau karena sudah menikah dan tinggal jauh dari orang tua dan kerabat lainnya. Sejak dua pekan sebelum Idulfitri, umat Islam di Indonesia mulai sibuk memikirkan perayaan hari raya ini, yang paling utama adalah mudik atau pulang kampung. Tidak heran jika pada hari raya idul fitri di Indonesia marak dengan acara halal bi halal. Halal bi halal merupakan istilah lain dari silaturrahim yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia pada momen idul fitri, walaupun sekarang berkembang menjadi “Open House”. Pada kultur masyarakat Indonesia, pada hari pertama idul fitri banyak menu makanan khasnya, mulai opor ketupat atau opor lontong sampai kue-kuenya yang super lengkap. Tidak ketinggalan pakaiannya serba baru. Ada tradisi saling meminta maaf di hari raya dan berziarah kubur pada hari idul fitri dengan rasa bersuka ria sambil tertawa-tawa, suatu pemandangan yang amat kontras. Dan masih banyak tradisi lokal lain yang menandai adanya idul fitri. Suatu ketika, salah seorang Tabi’in Senior Wuhaib ibnul Wardi rahimahullah melihat sekolompok orang tertawa secara berlebihan pada hari ‘Idul Fitri, lalu berkatalah beliau, “Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya, maka bukanlah demikian sikap hamba Allah yang bersyukur, namun jika mereka termasuk orang-orang yang tidak diterima puasanya, maka bukan demikian pula sikap hamba Allah yang takut kepada-Nya”.
Di beberapa daerah Indonesia hari Raya Idul Fitri dikenal dengan nama lain, misalnya di Aceh disebut Uroe Raya Puasa Rojar Eid artinya festival buka puasa. Bagi masyarakat melayu, idul fitri disebut dengan nama Aidilfitri. Sedangkan di Betawi dan sekitar Pulau Jawa menyebutnya dengan kata lebaran.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia lebaran diartikan sebagai hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Banyak juga yang memberikan pengertian bahwa hari lebaran ini merupakan hari yang membahagaikan karena momen-momen indah akan tercipta. Temu kangen dengan keluarga dan menikmati hidangan khas lebaran yang disajikan akan membuat memori manis dalam pikiran.
Hari Raya Idul Fitri untuk pertama kalinya dirayakan umat Islam, selepas Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijiriyah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Menurut sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menunaikan Shalat Id pertama kali dalam kondisi luka-luka yang masih belum pulih akibat Perang Badar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merayakan Hari Raya Idul Fitri pertama dalam kondisi letih. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kepada Bilal ra dan menyampaikan khutbah ‘Id. Menyambut hari kemenangan dengan hal-hal positif memang sangat dianjurkan. Hal itu terbukti bagaimana antusiasnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyambut Idul Fitri, namun tentu saja beliau tidak menanggalkan syariat Islam atau berlebih-lebihan atas sesuatu.
Dalam suasana Id, para sahabat saling bertemu dengan mengucapkan doa “Taqobbalallahu minna waminkum” yang artinya “Semoga Allah menerima ibadah kita semua”. Hari raya idul fitri sangat erat sekali dengan riwayat singkat dari sahabat Anas bin Malik berikut ini:
كَانَ لِأَهْلِ اْلجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُوْنَ فِيْهَا، فَلَمَّا قَدِمَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ، قَالَ كَانَ لَكُم يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِما خيرًا مِنْهُمَا يَوْمَ اْلفِطْرِ وَيَوْمَ اْلأَضْحَى.
“Bahwa orang-orang jahiliyah punya dua hari dalam setiap tahun dimana mereka bermain-main untuk merayakannya. Ketika Rasulullah saw tiba hijrah di Madinah, beliau bersabda: “Dahulu kalian punya dua hari untuk merayakan, lalu Allah menggantinya bagi kalian yang lebih baik, yaitu hari Fithr dan hari Adha.” (HR. an-Nasai’).
Secara teologis, Idul Fitri merupakan ungkapan rasa syukur bagi umat Islam yang berhasil melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Keberhasilan itu mengantarkan seorang muslim menaiki tangga spiritual yang tinggi, yaitu kembali kepada kesucian diri. Maka dari sudut ini, hanya orang-orang Islam yang berpuasa yang berhak merayakan dan mendapatkan Idul Fitri. Di dalam kitab Lathaiful Ma’arif karya Imam Ibnu Rajab Al-Hambali disebutkan:
لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ اْلجَدِيْدْ * إِنَّمَا اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدْ
لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِالِّلبَاسِ وَالرُّكُوْبْ * إِنَّمَا اْلعِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْبْ
“Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian baru, namun hari raya adalah untuk orang yang keta’atannya bertambah. Hari raya bukan untuk orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya adalah untuk orang yang diampuni dosa-dosanya”
Mari kita memohon keistiqomahan di atas keta’atan kepada Allah sampai meninggal dunia dan memohon perlindungan kepada-Nya dari berbolak-baliknya hati.
Muara Sugihan, Ahad 22 Ramadhan 1443 H. bertepatan dengan 24 April 2022 M.
(Ustadz Asep Subadi, Banten)