Sejarah Singkat Pondok Modern Daarul Abroor
Pendirian pesantren ini sebenarnya diawali dari pesan pimpinan pesantren Gontor saat itu (K.H. Imam Zarkasy, KH. Ahmad Sahal dan KH Zainuddin Fannani), tempat di mana KH. Edy Sunari pernah menjadi santri, kepada anak didiknya untuk mendirikan seribu Gontor. Maka, selepas belajar dan mengabdi di Gontor selama 9 tahun, K.H. Edy Sunari berusaha mewujudkan harapan para Kiainya untuk mendirikan pesantren.
Rencana Awal Tempat Pendirian Pesantren
Tempat awal yang dipilih untuk mendirikan pesantren adalah di daerah sendiri, yaitu di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Tetapi karena situasi politik pada saat itu tidak kondusif pendirian pesantren tersebut belum dapat direalisasikan. Bahkan sempat K. H. Edy Sunari diperiksa di Kodim hanya karena begitu giat mendakwahkan Islam. Di samping itu, menyebar anggapan di masyarakat bahwa alumni Gontor adalah alumni Muhammadiyah, sehingga warga di wilayah Kabupaten Pandeglang yang mayoritas NU berusaha menolak kedatangan K. H. Edy Sunari.
Kemudian K. H. Edy Sunari pergi ke Jakarta dan menjadi Tenaga Kerja Sukarela BUTSI (Badan Usaha Tenaga Sukarela Indonesia) di bawah DEPNAKER yang bertugas membantu Pemerintah Desa Tertinggal untuk mempercepat pembangunan yang kemudian dikirim ke Sumatera Selatan bersama 61 TKS (Tenaga Kerja Sukarela) lainnya.
Karena pada awalnya ingin mendirikan pesantren, maka ketika sampai di tempat tugas pun keinginan ini terus direalisasikan. Hingga pada saat selesai tugas pada tahun 1985, K. H. Edy Sunari berhenti sebagai TKS BUTSI dan kembali ke Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan untuk merealisasikan cita-cita mendirikan pesantren.
Menurut beliau, sebenarnya ia ditawari untuk kembali menjadi TKS dan akan ditempatkan di wilayah Timur yang pada saat itu sangat jauh tertinggal, tetapi melihat kondisi daerah transmigrasi yang ditinggalkan juga dalam keadaan kosong dari da’i dan Tenaga Penyuluh Desa, di samping maraknya program pemurtadan oleh agama lain dan lemahnya tingkat keberagamaan masyarakat di sana, membuat K.H. Edy Sunari lebih memilih berhenti dan secara hati nurani kembali ke Air Sugihan demi berdakwah sekaligus membantu mempercepat pertumbuhan pembangunan di wilayah perairan Banyuasin.
Untuk menyambung hidupnya beserta istri dan anak, K. H. Edy Sunari bekerja sebagai sekretaris KUPT (Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi) sehingga mendapatkan bantuan beras, minyak, dll sebagaimana para transmigran yang lain. Selain menjadi sekretaris KUPT, ia juga menjadi Da’i transmigrasi dan Da’i Dewan Dakwah dari tahun 1985-1986. Pada tahun 1987 menjadi Da’i Dewan Dakwah Rabithah Alam Islami hingga tahun 2000.
Gerakan Awal Perintisan Pesantren
Gerakan awal untuk merealisasikan pendirian pesantren adalah dengan menyambangi rumah per rumah di Desa Tirtaharja dan memahamkan mereka akan pentingnya pendidikan dan sekolah sekaligus mensosialisasikan pendirian Madrasah Tsanawiyah dan meminta bantuan baik moral, tenaga maupun dana dalam usaha perintisan Madrasah Tsanawiyah ini.
Akhirnya, pada bulan Mei tahun 1985, dengan bantuan masyarakat, aparat pemerintahan Desa serta KUPT dimulailah perintisan Madrasah untuk pertama kalinya di Kecamatan Muara Padang (saat itu kecamatan Muara Sugihan belum terbentuk) dengan jumlah murid saat itu sebanyak 20 orang. Sedangkan ruang yang dipakai untuk kegiatan belajar mengajar masih menumpang di balai desa karena masih belum mempunyai lokal belajar.
Untuk tenaga pengajarnya sendiri diambil dari petugas KUPT serta tokoh masyarakat di Desa Tirtaharja atau dari Desa tetangga yang pernah mengajar di daerah asalnya. Untuk honor para pengajar yang ada, K.H. Edy Sunari berusaha mendapatkan bantuan dari para Dermawan Muslim di Kota Palembang, sebab uang yang masuk dari murid sangat sedikit akibat jumlah murid yang hanya 20 sedangkan tenaga pengajar yang ada pernah mencapai 18 Guru.
Memasuki tahun ketiga, kelas tiga menempati masjid Transmigrasi sebagai tempat belajar mengajar, sebab balai desa saat itu hanya bisa menampung 2 kelas saja. Baru ketika memasuki tahun 1987, kelas 1 dan 2 MTs dipindahkan ke lokal belajar baru yang letaknya di samping masjid transmigrasi. Dua lokal belajar yang berbentuk panggung dengan berdindingkan papan serta beratapkan seng ini adalah bantuan dari IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor) Palembang. Dua lokal belajar ini berdiri di atas lahan seluas 3 ha yang merupakan hibah dari pemerintah, dan lahan inilah yang kemudian hari menjadi areal Pondok Pesantren Modern Daarul Abroor.
Pada awal-awal perintisan, muncul banyak isu dan ketakutan pada masyarakat bahwa MTs Daarul Abroor ini tidak bisa mendapatkan ijazah seperti di sekolah Negeri, sehingga banyak yang masih melanjutkan sekolahnya ke sekolah lain meskipun jarak sekolah dari rumah mereka cukup jauh. Tetapi, sejak lulusan kelas 3 MTs bisa mendapatkan ijazah seperti SMPN, maka mulai banyaklah para siswa yang mau mendaftarkan dirinya ke MTs ini, bahkan mereka yang datang untuk menempuh pendidikan bukan hanya dari Kec. Muara Padang saja, tetapi dari Kec. Makarti dan Kec. Saleh.
Jenjang Pendidikan
Sebagai bentuk pengembangan, maka pada tahun 1989-1990 dirintis lah Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada tahun 1992-1993 dirintis juga Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) sebagai kelanjutan dari MTs. Perintisan ini sebagai usaha agar masyarakat khususnya di Desa sekitar dapat mengenyam pendidikan setingkat SMA, sebab saat itu sarana pendidikan setingkat SMA hanya ada 2 dalam satu Kecamatan Muara Padang, yaitu SMAN Cendana dan SMAN Sumber Makmur.
Pada tahun 1994, barulah MI, MTs dan MAK ini diaktakan dan berubah menjadi Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Daarul Abroor. Lengkapnya adalah akta notaris; Aminus, Palembang No. 2 Tanggal 3 Maret 1994.
Pada tahun 2002-2003 dirintis juga Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT) yang merupakan jawaban atas fenomena yang terjadi pada tahun 2000an, di mana para santri lulusan santri MTs Daarul Abroor banyak yang melanjutkan ke SMAN Cendana dan SMAN di Jalur 20 dari pada ke MAK Daarul Abroor sendiri dengan alasan di MAK Daarul Abroor tidak diajarkan pelajaran umum. Akan tetapi pada tahun 2008, SMAIT resmi dihapus dan dikonversi ke Madrasah Aliyah Keagamaan mengingat dari tahun ke tahun peminat SMAIT semakin menurun.
Pada tahun 2008, Bapak Pimpinan berencana mengubah jenjang Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) menjadi Kulliyyatul Mu’allimiin Al Islamiyyah (KMI). Maka mulai tahun itu dimulai perubahan kurikulum dimulai dari santri kelas 1 menggunakan kurikulum KMI Gontor. Dan hal ini berjalan selama 7 tahun.
Alhamdulillah pada tahun 2016, Pondok Modern Daarul Abroor berhasil mendapatkan pengakuan (Mu’adalah) dari Menteri Agama saat itu (Lukman Hakim Saifuddin) sebagai pesantren dengan sistem Mu’allimin – Kulliyyatul Mu’allimiin wal Mu’allimaat Al Islamiyyah (KMI) pertama di Sumatera Selatan.
Sebagai pesantren Mu’adalah dengan sistem Mu’allimin, maka Pondok Modern Daarul Abroor berhak mengadakan kurikulum sendiri dan ujian sendiri tanpa mengikuti Ujian Nasional (UN) dari pemerintah bahkan Ijazah pun dibuat sendiri. Akan tetapi, meskipun Ijazah dibuat sendiri oleh pihak pesantren, Ijazah tersebut dapat digunakan oleh alumninya untuk melanjutkan studi mereka ke Perguruan Tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan inilah memang kelebihan dari pesantren Mu’adalah (disamakan) dibandingkan dengan pesantren yang mengadakan jenjang MTs dan Aliyah.
Perkembangan Pesantren
Kini setelah 32 tahun berjalan, Pondok Modern Daarul Abroor telah memiliki 3 cabang yaitu Pondok Modern Daarul Abroor 2 di Jalur 18 Kec. Muara Padang Banyuasin, Pondok Modern Daarul Abroor 3 di Jalur 13 Muara Sugihan Banyuasin serta Pondok Modern Daarul Abroor 4 di Dusun Air Sabut Pagar Gunung Kec. Lubai Kab. Muara Enim Sumatera Selatan.
Baca juga : Profil Pondok Modern Daarul Abroor.